Bagi industri pengguna gas, harga gas menjadi salah satu parameter penting pembentuk harga produk. Pemerintah terus berupaya mengatur harga gas seoptimal mungkin. Misalnya, melalui Permen ESDM Nomor 58 Tahun 2017, mengatur nilai wajar (menurut Pemerintah) batasan keuntungan yang bisa diperoleh para trader gas. Selain itu, Pemerintah juga menerapkan kebijakan HGBT, yakni pengurangan "jatah" keuntungan Pemerintah dari sisi hulu sehingga harga gas di hilir bisa lebih murah. Harapannya, dengan harga gas yang lebih kompetitif akan dapat meningkatkan daya saing industri.
Hal lainnya yang masih bisa dioptimalkan yakni dari sisi pembangunan infrastruktur pipa gas. Pemerintah sebenarnya sudah cukup baik dalam pembuatan roadmap gas pipa melalui RIJTDGBN. Namun, jaringan pipa untuk segmen yang paling hilir, yakni pipa distribusi dari trader gas ke industri selaku end user sepertinya masih perlu dioptimalkan lagi. Selama ini, dalam penentuan diameter pipa misalnya, basisnya adalah volume per customer dan "asumsi" proyeksi peningkatan volume demand gas ke depan. Semakin besar diameter pipa maka kapasitas pipa akan semakin besar, diiringi dengan capex yang semakin besar pula. Dari sisi trader gas, tentunya menginginkan pipa dengan kapasitas besar untuk mengakomodir proyeksi peningkatan kebutuhan volume pengaliran gas di masa mendatang. Sayangnya, tidak jarang, setelah dibangun pipa dengan kapasitas besar namun ternyata realisasi pengaliran gas rendah. Padahal, beban capex yang besar ini berpengaruh langsung ke komponen pembentuk harga gas jual yang akan dibebankan ke pembeli.
Trader gas tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Karena jika membangun pipa dengan ukuran pas-pasan, sedangkan ke depan ternyata volume benar-benar meningkat, maka jika harus membangun pipa tambahan biayanya justru akan jauh lebih besar lagi. Right of Way (ROW) atau lahan tempat ditanamnya pipa adalah ruang terbatas. Pembangunan pipa yang tanpa perencanaan akan membuat ROW pipa semakin berkurang, pengerjaan konstruksi pipa semakin sulit dan juga semakin beresiko karena banyaknya pipa gas yang semakin bertumpuk.
Maka, pembangunan pipa gas perlu perencanaan matang. Langkah pertama adalah pemetaan potensi demand gas secara menyeluruh. Dengan diketahuinya besaran volume demand gas maka pembangunan infrastruktur pipa gas bisa lebih terukur. Kedua, untuk program konversi LPG & solar ke gas, untuk industri yang berlokasi jauh dan volume kecil, yang tidak ekonomis jika dibangun pipa, maka dapat di-supply menggunakan CNG. Skema ini bisa dikembangkan lagi dengan skema CNG + Integrasi Pipeline, yakni CNG Hub dilanjutkan jaringan distribusi gas pipa ke beberapa titik end user yang sudah dipetakan. Ketiga, ketika pengguna CNG sudah cukup banyak, termasuk hub-hub CNG, maka dilakukan studi lebih lanjut untuk integrasi pipa menyeluruh sampai didapatkan harga gas pipa yang lebih kompetitif dan ekonomis.
// Tulus Setiawan, 17 Februari 2024
No comments:
Post a Comment