Menyongsong persaingan industri global yang semakin ketat, setiap pelaku industri dituntut untuk efisien. Salah satu langkah efisiensi yang dapat ditempuh adalah konversi energi.
Saat ini, masih ada cukup banyak industri yang menggunakan bahan bakar seperti LPG & solar. Bahan bakar jenis ini relatif mahal jika dibandingkan gas. Sebagai perbandingan, jika dikonversikan ke dalam unit satuan usd/mmbtu, harga LPG ± 22 usd/mmbtu dan harga solar ± 38 usd/mmbtu. Angka ini lebih mahal dibanding gas pipa pada kisaran 9-15 usd/mmbtu. Bahan bakar gas jenis lainnya, yakni CNG pada kisaran 12-19 usd/mmbtu. Bahan bakar jenis gas, baik itu gas pipa maupun CNG bisa bervariasi tergantung volume dan jarak lokasi pengiriman. Selisih harga bahan bakar ini merupakan satu peluang efisiensi.
Selain harga, khusus untuk LPG, penggunaan bahan bakar jenis ini menjadi isu tersendiri. Saat ini, Indonesia masih mengimpor LPG sebesar 5.5 juta ton per tahun. Di sisi lain, Indonesia justru mengekspor gas. Jika dilakukan konversi dari LPG ke gas, selain bermanfaat untuk penurunan biaya, juga menjawab permasalahan impor LPG di Indonesia.
Lantas, mengapa LPG & solar masih tetap digunakan? Beberapa faktor yang masih menjadi kendala di antaranya adalah jarak & volume. Lokasi industri yang terlalu jauh & volume konsumsi energi yang terlalu kecil, menyebabkan harga keekonomian gas pipa menjadi lebih mahal dibanding LPG & solar. Meskipun begitu, masih ada bahan bakar gas jenis lainnya, yakni CNG, untuk mengakomodir kebutuhan gas industri yang jaraknya jauh dan volumenya kecil. Secara komposisi, CNG mirip dengan gas pipa, bedanya dikirim menggunakan truk CNG. Gas dikompres pada tekanan hingga 250 barg sehingga volume lebih padat, dapat menyalurkan volume gas yang lebih banyak dalam sekali pengiriman.
CNG adalah bisnis perintis. Ketika konversi dari LPG ataupun solar ke gas pipa masih belum ekonomis, maka CNG solusinya. CNG bersifat sementara, sebelum nantinya dihubungkan dengan gas pipa. Industri "sudah final" ketika sudah terhubung pipa, karena suplai akan lebih stabil dan harga lebih murah. CNG, meskipun kecil kemungkinan, tapi masih ada potensi suplai yang terputus. Misalnya, ketika terjadi kemacetan sehingga truk CNG terlambat datang. Maka, pada skema pengiriman berbasis truk ini diperlukan manajemen logistik yang baik untuk memitigasi resiko-resiko yang ada.
Dalam rangka mendorong pemanfaatan gas pipa, maka diperlukan pemetaan demand gas pipa secara regional. Jarak yang jauh dan volume yang kecil bisa dilakukan studi potensi market gas pipa. Beberapa industri dengan volume kecil jika dikumpulkan secara regional, pada jumlah tertentu akan mendapatkan nilai harga keekonomian yang kompetitif. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah tercapainya skenario "final" skema suplai energi menggunakan gas pipa, yakni suplai yang stabil dan harga yang lebih murah.
// Tulus Setiawan, 16 Februari 2024
No comments:
Post a Comment